Pages

Rabu, 07 Desember 2011

Jika anda sedang berjalan-jalan ke Stockholm, Swedia; sempatkanlah untuk berkunjung ke Riksdaghuset atau kantor parlemen-nya Swedia. Gedung parlemen yang terletak di Gamla Stan cukup mudah ditemukan, dan tentu saja menjadi atraksi yang menarik bagi para turis (terlebih bagi mereka yang ingin mengetahui sistem politik di Swedia). Untuk mengunjungi gedung parlemen, tidak dipungut bayaran (gratis) dan tersedia pula guide tour yang juga tidak dipungut bayaran. Namun, anda harus datang sedikit lebih awal karena harus melewati security check yang cukup ketat. Tidak hanya itu saja, tas harus disimpan di locker yang sudah disediakan dan kamera boleh dibawa namun tidak boleh mengambil foto dengan menggunakan flash.

Keterbukaan dan transparansi merupakan salah satu elemen penting dalam penyelenggaraan demokrasi di Swedia. Hal ini tercermin dari adanya pengawasan publik dalam pelaksanaan politik di Swedia. Sidang parlemen terbuka untuk umum, sehingga publik bisa mengikuti jalannya sidang parlemen.

Mengunjungi Parlemen Swedia tentu saja menjadi hal yang tidak bisa saya lewatkan ketika datang ke Stockholm. Beruntungnya, ketika itu bertepatan dengan adanya sidang parlemen jadi saya bisa melihat secara langsung jalannya sidang parlemen. Sebelum menuju ke tempat duduk untuk para visitor jalannya sidang, saya tak melewatkan kesempatan untuk ke toilet (maklum toilet gratis, mengingat untuk mencari toilet yang tak berbayar cukup sulit). Saya tiba-tiba dikejutkan dengan bunyi alarm, mau tidak mau saya menjadi panik karena saya masih di dalam toilet. Namun tentu saja kebutuhan biologi saya memaksa saya untuk tetap bertahan di sana. Ketika saya keluar, bertepatan dengan rombongan orang-orang yang menuju ruangan sidang bahkan kami hampir bertabrakan dengan salah seorang di antaranya.

Tiba di tempat duduk yang sudah disediakan, seorang laki-laki paruh baya yang saya temui di security check berkata, "Di ruangan ini ada Perdana Menteri Swedia. Kamu tahu yang mana?" Terus terang saya tidak mengikuti perpolitikan di negara-negara Scandinavia ini, dan tentu saja saya tak tahu siapa nama PM Swedia, bahkan wajahnya. Untuk meyakinkan saya bertanya pada lelaki tersebut, "Ough, jadi PM Swedia ada di sini? Terus terang saya tidak tahu PM Swedia." Agak malu juga mengakuinya, namun harus jujur tentu saja ^__^ "Coba kamu tebak yang mana dia." Hmm, cukup sulit juga namun saya serahkan pada feeling saya dan akhirnya saya menunjuk ke seseorang yang tadi sempat hampir saya tabrak. "Iya benar, bagaimana kamu bisa tahu." Tidak menyangka juga ternyata tebakan saya benar, dan saya hanya tersenyum kecil saja sambil bercanda, "Saya cukup pintar dalam menebak."

Akhirnya saya tahu, ternyata bunyi alarm tadi adalah alarm yang memberitahukan bahwa PM datang. Namun ini tentu saja berbeda dengan kondisi di tanah air dimana pengawalan untuk pejabat negara seperti presiden pasti cukup ketat. Sementara di sini, hanya ada alarm dan bahkan hampir saja saya menabrak beliau.

Saya mengikuti jalannya sidang, meski saya tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi karena kendala bahasa. Yang saya tahu, proporsi perempuan dalam parlemen cukup baik, dimana proporsi perempuan dan laki-laki hampir seimbang.

Jumat, 12 Agustus 2011

Kampung Jawa di Bangkok


Meskipun sebagian besar penduduk Negeri Gajah Putih beragama Budha, namun bukan berarti tak ada komunitas muslim di sana. Beberapa komunitas muslim ini pun bertalian dengan Indonesia. Jika anda sedang berada di Bangkok, sempatkanlah untuk berkunjung ke Masjid Jawa yang terletak di Sathorn District. Anda bisa menggunakan BTS ke Surasak dan bertanya pada penduduk sekitar lokasi surau (masjid).

Masjid Jawa berada di Kampung Jawa, namun meski namanya Kampung Jawa sudah tidak banyak penduduk di sana yang bisa berbahasa Jawa. "Dulu saya bisa bahasa Jawa, sekarang sudah lupa," demikian tutur ibu Asmi dalam bahasa Indonesia. Ibu Asmi dahulu tinggal di Kampung Jawa, namun kini menetap di Ramkaheng. Ayah ibu Asmi berasal dari Jawa, sementara ibunya dari Singapura. Beliau tidak tahu pasti di daerah mana tepatnya Ayahnya berasal. Asal usul kampung Jawa tidak bisa dilepaskan dari perang dunia II dimana banyak orang Jawa yang dijadikan romusha oleh Jepang dan dikirim ke luar pulau atau bahkan ke negara lain (termasuk Thailand).


Tidak jauh dari Masjid Jawa, terdapat pekuburan muslim dan juga madrasah untuk belajar mengaji. Di dalam masjid terdapat bedhug, namun karena sudah ada pengeras suara, bedhug tersebut tidak dipergunakan lagi.

Sambil menunggu adzan maghrib, tidak ada salahnya ngabuburit di Kampung Jawa. Di sepanjang jalan terdapat banyak penjual makanan halal, dan andapun bisa berbuka di Masjid Jawa. Setelah berbuka, ada shalat Maghrib berjamaah dan dilanjutkan dengan makan malam. Secara bergiliran, masyarakat di sana menyediakan hidangan buka puasa tak ubahnya dengan di tanah air. Uniknya, semua makanan dihidangkan disajikan dalam 1 nampan besar untuk 1 meja yang berisi 4 orang, sehingga terasa sekali kebersamaannya. (*)

Minggu, 07 Agustus 2011

Bangkok Street Food

Street food adalah salah satu hal yang populer di Bangkok. Berikut adalah lokasi street food yang populer di Bangkok:

Victory Monument
Around this monument to a brief 1941 scuffle between Thai and French forces in Indo-China lies a maze of side-streets and alleys crammed with all kinds of food.
One particularly good stop, just northeast of the monument at the end of Ratchawithi soi 10 and across a little bridge, is Sud Yod Guey Tiaow Reua (Best Boat Noodles). Nine baht gets you a small bowl of delicious boat noodles; eat 20 bowls and you get a free Pepsi.

But the biggest concentration of food lies on the southern side of the traffic circle where hip Thai teens eat and drink late into the night.

If you want a bit more selection, head south down Phaya Thai Road to Soi Rang Nam, which is packed from end to end with restaurants, street stalls and pubs.

Getting there: Take the BTS to Victory Monument. Best time to visit: Evenings.

Tha Phra Chang Pier/Road
f there’s one food rule in Thailand, it’s that the area surrounding any university will be a gastronomic gold mine.
This little cluster of sois and restaurants on the river at the end of Phra Chan Road and beside Thammasat University is more than enough proof.

Out front, it's mostly shops selling clothes and jewelry, but toward the river tiny hallways and crowded wall-to-wall eateries sell nearly every Thai dish imaginable, and many of the seats come with a relaxing river view.

Further down Maharat Road -- past the amulet market -- Tha Chang Pier is another riverside area densely populated with all manner of food and dessert carts.

Getting there: Take the Chao Phraya Express ferry to Tha Chang Pier. Best time to visit: Weekdays, during the day.

Khao San Road
xamples of the human race is also one of the best places to tuck in.
True, much of it is watered-down to appeal to the widest variety of palettes, but if it’s variety you want, you’ve come to the right place.

Everything from falafel and Burger King to khao moo daeng and ginger soup is cooked up here. A quick walk over to Soi Ram Buttree, which curls back behind Wat Chana Songkhram, will get you even more food, but the focus here is more on drinking establishments. Not that there’s anything wrong with that.

Getting there: Take a taxi. Best time to visit: Anytime, Khao San never stops.

Charoen Krung Road/State Tower
This stretch of the long and well-known road -- built in 1861 to satisfy uppity foreigners who wanted a wide road for their horse-drawn carriages so they could get out for some fresh air -- is crammed with sois and sub-sois offering all kinds of food.
Beginning at the base of State Tower at the foot of Silom Road, a walk south on Charoen Krung toward the BTS will offer up enough grub to satisfy any hungry soul.

Nip into Soi Si Wiang for some great khao soi gai or just stay on Charoen Krung for a sizeable selection of stalls.

At the end, turn right into Charoen Krung 50 and finish up with a roti, an artery-clogging log of fried dough, banana, eggs and sugar.

Best time to go: Weekdays between lunch and late afternoon.

Soi Ari
Once a cloistered little neighborhood in the 'burbs, Ari is now home to a Starbucks and an Apple retailer, among other global brands.
Despite this, the little cluster of sois around the Ari BTS station has remained a funky food oasis. Phahon Yothin 7 is the main drag and is lined with all manner of food stalls, open until well after dinner.

The sub-sois and side streets branching off of here contain tons of great choices as well for hungry explorers to sniff out.

Getting there: Take the BTS to Ari station. Best time to go: Any time, especially weekends.

Huay Kwang Market
Another rule of Bangkok food: follow the crowd.
The area around Huay Kwang intersection is populated by large, garish massage parlors, which means lots of people at all hours of the night.

While known as more of a market area, you can find some great food if you turn left off Ratchadapisek Road and follow Pracharat Bamphen Road for a few hundred meters.

It’s a great place to come after a night out, as the stalls serve food well into the wee hours, and the eccentric crowds always make for a good night of people-watching.

The red pork dishes (moo daeng) around here are particularly good.

Getting there: Take the MRT to Huay Kwang station. Best time to go: Any night of the week, after 11 p.m

source: cnngo

Selasa, 26 Juli 2011

Perjalanan saya ke Vietnam sebenarnya di luar rencana, karena rencana saya sebelumnya adalah balik ke Thailand, kemudian ke Chiang Mai lalu lanjut ke Laos. Rencana berubah, saya melanjutkan perjalanan ke Vietnam bersama Olga (teman saya dari Spanyol). Menuju Vietnam, kami menggunakan bus dari Sihanoukville (yang ternyata harus kembali ke Pnomphen dahulu). Kemi berangkat pukul 8 am dari Sihanoukville dan sampai di Pnomphen pukul 11.30 am.

Begitu sampai di bus, kondektur meminta para penumpang mengumpulkan paspornya. Bagi saya tentu saja no problem, karena sebagai WNI bebas visa ke Vietnam. Namun tidak bagi Olga, dan dia belum mengurus visa ke Kedutaan Vietnam di Kamboja. Akhirnya kami turun dari bus dan mengurus tiket kami agar bisa diundur untuk besok. Dari terminal kami menuju ke Hotel tempat kami menginap sebelumnya menggunakan tuk tuk.

Setelah selama beberapa hari banyak jalan (mengitari Angkor Wat, Pasar, beberapa tempat wisata di Pnom Phen), saya dan kawan-kawan menuju ke Sihanoukville. Sihanoukville adalah satu-satunya kota pelabuhan di Kamboja. Nama Sihanoukville berasal dari nama rajanya, yaitu Norodom Sihanouk. Kota ini dikenal pula dengan nama Kampong Som atau Kampong Saom.

Dari Pnom Phen menuju Sihanoukville bisa menggunakan bus. Ada beberapa pilihan bus seperti Sorya dan Mekong Express. Harga tiket bus sekitar 15,000 riel. Kami menggunakan bus 'Sorya', yang terletak di dekat Central Market. Kami berangkat pukul 8 am dan sampai di sana pukul 11.30 am. Dari tempat pemberhentian bus, kami menggunakan tuk tuk menuju penginapan, milik kakak dari teman saya (Naro). Dalam perjalanan ini saya kehilangan body lotion saya (marck & spencer) yang saya letakkan di kantong luar backpack saya. Pelajaran: jangan menaruh barang di kantong luar backpack anda.

Dari penginapan tersebut menuju ke pantai cukup dekat, tinggal berjalan kurang lebih 5 menit kami sudah sampai di sana. Di sekitar pantai banyak orang yang berjual makanan seafood dan ada juga yang menawarkan jasa pijat. Kami di sana sambil menikmati sunset, cukup banyak turis yang berada di sana, entah berenang atau sekedar berjemur.

Untuk berkeliling Sihanoukville, anda bisa menggunakan ojek, tuk-tuk, atau menyewa motor atau mobil. Biasanya guesthouse menyediakan penyewaan motor dan mobil. Saat itu, kami cukup beruntung karena diantar oleh Naro menggunakan mobilnya ^_^ Biaya sewa motor sekitar USD5-8 per hari sementara mobil USD20 per hari (dengan driver).

wisata belanja di Bangkok

Banyak yang sengaja datang ke Bangkok untuk berbelanja, ya kota ini kemudian menjadi tempat yang populer untuk belanja. Beberapa tempat belanja di Bangkok yang menarik untuk dikunjungi.

Jatujak Weekend Market
Pasar yang terdiri dari ribuan stand penjual ini memang sangat terkenal. Berbagai macam barang ada di sini, dari souvenir sampai aromatherapy, semuanya ada. Kalau ingin membeli oleh-oleh, belilah di sini. Beberapa penjual bahkan bisa bahasa Indonesia, mungkin karena saking banyaknya pembeli dari Indonesia ya..

Harganya juga murah dibanding dengan tempat-tempat lain, satu kuncinya pandai-pandailah menawar. Selain berbelanja, ada beberapa tempat makan di sana. Bagi anda yang muslim, jangan khawatir, ada beberapa warung makan muslim di sana. Salah satunya ada di dekat jam besar di tengah pasar Jatujak. Begitu anda datang ke sana, pastilah ada sesuatu yang anda bawa.

Untuk menuju Jatujak market cukup mudah, anda tinggal naik BTS ke Mochit. Dari AIT, anda tinggal naik van tujuan Mochit. Pasar ini hanya beroperasi pada hari Sabtu dan Minggu dari pagi hingga sore. Beberapa teman saya mengatakan bahwa hari Jum'at malam pasar ini sudah beroperasi, namun saya belum pernah membuktikan.


Pratunam
Kompleks pertokoan Pratunam adalah salah satu yang memberikan harga murah bagi anda, dan kuncinya sekali lagi adalah pandai-pandailah menawar. Umumnya yang dijual di sana adalah baju-baju. Berbelanja di Pratunam cukup strategis, karena lokasinya dekat dengan Platinum, Indra Regent dan baiyoke. Jadi siapkan banyak energi saja. Dari Victory Monument, anda bisa menggunakan bus nomor 14.

Untuk pilihan makan, ada beberapa restauran muslim di sana (Indian food) dan ada juga stand halal di food court Indra Regent. Anda juga bisa mencicipi makanan jalanan di sana seperti mangga dll.

Platinum
Platinum yang letaknya dekat dengan Pratunam, juga dekat dengan KBRI. Dari Victory Monument, anda bisa naik bus nomor 62 atau 38. Ada banyak barang yang bisa anda beli di sini, seperti tas, sepatu, baju, cinderamata dan aksesoris. Harganya akan lebih murah ketika anda membeli dalam jumlah banyak (3 pcs). Baju-baju yang adapun lebih bagus dan up to date. Dan jangan lupa untuk menawar.

Di sini ada tempat sholat juga di lantai 2 dan 5. Selain itu di foodcourtnya juga ada stand makanan halal. Banyak orang Indonesia yang datang ke sini. Biasanya orang yang berbelanja membawa koper besar khusus untuk barang belanjaannya.

Pantip
Jika anda sedang berburu barang elektronik, anda bisa datang ke Pantip yang lokasinya tidak jauh dari Platinum dan KBRI. Namun harga barang-barang elektronik di Thailand dan Indonesia tidak jauh berbeda.

Ma Boon Krong
Atau lebih dikenal dengan nama MBK. Untuk menuju MBK, anda bisa menggunakan BTS ke National Stadium. Atau naik bus dari Victory Monument (saya lupa nomor busnya). Ada banyak pertokoan di sana dan juga stand penjual di 'bazaar'. Anda bisa membeli baju, sepatu, souvenir dll di mall ini. Untuk harga, memang lebih murah di Jatujak, namun untuk motif di MBK jauh lebih beragam.

Ada juga tempat shalat di sini dan stand halal di food courtnya (lantai 5). Jika anda ingin mencari DVD bajakan, tersedia pula di sini.

Siam Paragon

Senin, 27 Juni 2011

Kunang-kunang di Amphawa

Kunang-kunang atau fire flies boleh jadi adalah hal yang biasa bagi anda, namun bagi beberapa orang ada yang belum pernah melihatnya. Bagi saya, ketika saya kecil, binatang ini acapkali saya lihat di dekat rumah saya bahkan ketika saya berlibur di tempat nenek saya. Namun tidak lagi sekarang, seiring dengan banyaknya bangunan yang berdiri, yang seakan menggusur keberadaan binatang unik ini.

Selain diajak melihat kunang-kunang, melalui boat tour ini anda akan menyaksikan keindahan pemandangan di sekitar sungai tersebut dan juga diajak melihat beberapa hal, salah satunya adalah kuil yang terletak tak jauh di sana. Ini adalah salah satu kepintaran Thailand dalam mengemas pariwisatanya. Rasa-rasanya di sini apapun bisa menarik wisatawan, termasuk kunang-kunang, karena tidak semua orang pernah melihat kunang-kunang dan keberadaannya pun sudah makin jarang saja.


Amphawa adalah salah satu floating market di Thailand, uniknya melihat kunang-kunang menjadi salah satu daya tarik di sini. Anda dapat mengambil boat tour (50 THB) dan pengemudi boat akan membawa anda untuk melihat kunang-kunang di sana. Tapi tentu saja, kunang-kunang bukanlah satu-satunya daya tarik floating market ini. Ada banyak stand penjual yang menawarkan berbagai macam barang, dari souvenir hingga tentu saja makanan. Makanan yang dijual berbagai macam dan cukup unik, dari yang sekedar snack, seafood, dan lain-lain.

Selain itu ada juga penjual yang berada di atas perahu yang menawarkan berbagai macam makanan (seafood) dan juga minuman (cha yen/ thai tea). Ketika itu saya membeli kerang yang digoreng bersama dengan tepung beras, harganya 25 THB. Menu lain yang ditawarkan adalah kerang bakar, udang bakar, cumi bakar, dll. Sambil menikmati makanan, anda bisa menikmati pemandangan yang ada di sana. Namun jika anda ingin makan di lokasi yang cukup nyaman, jangan khawatir, ada beberapa kafe di sana yang terkadang juga menyuguhkan hiburan berupa live music.

Berbeda dengan floating market lainnya yang mulai pagi hari, Amphawa adalah pilihan yang tepat jika anda tidak ingin pergi pagi-pagi, karena Amphawa floating market adalah late market yang dimulai pukul 13.00 - 21.00. Namun floating market ini hanya ada tiap hari Jum'at - Minggu.


Menuju Amphawa floating market cukup mudah, dari victory monument anda bisa menggunakan van yang berada di belakang 7eleven, dengan tarif 80 THB. Atau dari Victory Monument BTS station keluar dari gate no. 2. Perjalanan dari victory monument ke Amphawa sekitar 1,5 jam. Van terakhir dari Amphawa ke Victory Monument pukul 8 malam.

Alternatif yang lain, anda bisa pergi dari terminal bus selatan dan naik bus ke Amphawa dari sana.

Selasa, 17 Mei 2011

Jim Thompson (James Harrison Wilson Thompson) adalah seorang businessman (juga arsitek dan kolektor barang-barang antik) dari Amerika, yang kemudian bergabung dengan US Army. Dalam tugasnya, dia berkunjung ke Thailand dan jatuh cinta dengan negara yang dikenal sebagai negeri gajah putih tersebut. Setelah pensiun dari tentara, Jim Thompson tinggal di Thailand dan dia ikut mengenalkan thai silk ke dunia internasional. Dalam perjalanan busnisnya di Malaysia, Jim Thompson menghilang dan tidak ada kabar berita hingga saat ini.

Jim Thompson kemudian membangun sebuah rumah untuk menampilkan koleksi-koleksinya, yang mana pembangunan rumah tersebut butuh waktu satu tahun. Rumah yang terletak di klong (kanal) tersebut kemudian menjadi museum yang dikenal dengan Jim Thompson House.

Menuju Jim Thompson house cukuplah mudah, anda tinggal naik BTS ke National Stadium, kemudian keluar dari pintu keluar 1, setelah turun tangga anda tinggal berbalik arah dan berjalan sampai kemudian ada papan penunjuk lokasi Jim Thompson House. Tiket masuk untuk dewasa 100 THB, dan 50 THB untuk pelajar.

Berbekal kartu pelajar AIT, saya hanya membayar 50 THB. Kemudian akan ada tour service yang disediakan dalam 4 bahasa (Inggris, Perancis, Jepang dan Thailand). Sambil menunggu tour, anda bisa mengunjungi toko souvenir dengan produk-produk berkualitas dan harga yang 'wah'. Satu buah dompet kulit dihargai 2,800 THB atau scarf seharga 870 THB. Ada juga restauran di sana, yang lagi-lagi dengan harga 'wah' (maklum kantong mahasiswa).

Mengikuti tour, anda akan diajak untuk berkeliling rumah Jim Thompson berikut melihat koleksi-koleksi di dalamnya. Uniknya, di rumah yang terbuat dari kayu tersebut, semua pintunya tidak langsung bersinggungan dengan lantai. Ada beberapa alasan terkait hal tersebut, yaitu jika ada banjir maka air tidak masuk ke dalam dan alasan mistis terkait dengan hantu, agar hantu tidak masuk ke dalam rumah.

Rumah kayu bergaya Thailand tersebut menyimpan koleksi dari berbagai negara, tidak hanya Asia tetapi juga Eropa. Misalnya saja lantai keramik yang didatangkan dari Italia atau lampu kaca yang berasal dari Belgia, selain berbagai macam porselin yang dibawa dari China.

Senin, 07 Februari 2011

Saya sampai di Nha Trang sekitar pukul 3 sore dan langsung mencari penginapan. Sempat disorientasi juga begitu nyampe. Beberapa tukang ojeg menawarkan jasanya dan juga hotel, yang kesemuanya saya tolak. Pe de saja saya jalan tanpa tujuan (padahal saya nggak punya peta), dan sampai akhirnya saya bertemu Mr. Binh yang kemudian mengantarkan saya ke Kim Ngan Hotel (52 Hoang Hoa Tham Street). Sempat curiga juga sebelumnya dengan Mr. Binh, tapi kemudian dia berkata "its free" dan akhirnya saya mau diantarkannya. Dia memberi saya nomor hpnya, namun hingga saat ini belum juga saya hubungi. Saya berhasil menawar hingga USD6 untuk 1 malam di hotel tersebut. Lumayan juga, ada lift, balcony (yang menghadap ke rumah-rumah penduduk) dan kamar mandinya bersih namun tanpa breakfast. Tidak jauh dari situ ada rumah makan vegetarian yang bisa dijangkau dengan jalan kaki saja. Di sana saya memesan bun (mie Vietnam) harganya lumayan murah 20.000 dong.

Dari hotel tersebut menuju pantai, lokasinya tidak terlalu jauh bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar 5 menit. Pagi-pagi saya pergi ke pantai untuk melihat sunrise, sayang agak mendung jadi tidak terlalu bisa melihat indahnya sunrise. Hal yang menyulitkan selama di Nha Trang (dan juga di beberapa kota Vietnam) adalah tidak adanya traffic light sehingga cukup sulit untuk menyeberang jalan (padahal ini adalah kelemahan saya). Saat itu, sedang ada pameran foto di dekat pantai tentang kecelakaan lalu lintas.

Beberapa saat di pantai, kemudian saya kembali ke hotel, mandi dan bersiap mengelilingi kota tersebut.

Selesai city tour di Nha Trang, saya membunuh waktu dengan berjalan-jalan di pantai. Di sana saya mendengarkan lagu dari ipod dan menulis cerita yang sayangnya sampai sekarang belum selesai di sebuah pantai di Nha Trang, rasanya adalah hal yang indah. Hal yang mengesankan di Nha Trang tentu saja adalah pantainya. Di sepanjang pantai, ada banyak ruang publik yang biasa digunakan orang untuk duduk-duduk. Tidak hanya itu pohonnya pun didesain sedemikian rupa sehingga menyerupai payung.


Apa hubungan Jimmy Lin dan Nha Trang? Hmm, saat saya sedang asyik dengan ipod dna catatan harian saya, saya bertemu Lisa-teman seperjalanan saat mengikuti city tour di Da lat. Kami pun berjalan di sepanjang pantai sembari bercerita-cerita. Hingga akhirnya kami mengobrol tentang Jimmy. Menjadi teringat ketika saya SD dan SMP, betapa saya dan kakak saya sangat tergila-gila pada jimmy lin, aktor dari taiwan. Kami memiliki koleksi Jimmy Lin, dari kertas surat, post card, poster, dan entah apa lagi.
"Everybody loves Jimmy," demikian kata Lisa.
Tak ubahnya dengan kami berdua, tentu saja banyak penggemar Jimmy yang melakukan hal yang sama.

Berdasar cerita Lisa, Jimmy memiliki seorang anak yang diberi nama Little Jimmy. Namun tidak ada yang tahu siapa ibu dari anak tersebut. Wah, rasanya saya tidak bisa membayangkan Jimmy yang begitu imut-imut memiliki anak, hmm, jadi penasaran.

Senin, 31 Januari 2011

menelusuri kota tua Ayuthaya


Tertarik mengetahui sejarah Thailand? jangan lupa berkunjung ke Ayuthaya. Di masa lampau kota ini menjadi ibukota Thailand sebelum kemudian dikuasai Birma.

Ada beberapa cara menuju Ayuthaya. Dari AIT bisa ke stasiun Chiang Rak (20 THB), perjalanan ditempuh kurang lebih 1,5 jam. Kereta apinya mengingatkan saya pada kereta api ekonomi di Indonesia. Begitu tiba di stasiun, akan banyak sopir tuktuk yang menawarkan jasanya. Bila anda tidak ingin capek, bisa menggunakan jasa tuktuk, namun tentu saja karena tidak sesuai dengan prinsip ekonomis, kami menolak tawaran sopir tuktuk. Dari stasiun, anda bisa berjalan menuju sungai untuk menyeberang (3-4 THB). selanjutnya bisa menyewa sepeda di cafe yang tidak jauh dari tempat anda berhenti (40 THB). Karenanya, sangat disarankan untuk datang pagi-pagi, rental sepedanya hanya hingga pukul 18.00. Alternatifnya, dari Future Park bisa naik van ke Ayuthaya (maaf tidak tahu biayanya).

Sejauh mata memandang, rasanya yang ada adalah temple dan temple. Untuk dapat mengunjungi semua temple anda bisa membeli tiket terusan seharga 500 THB, sementara jika anda ingin membeli secara terpisah di setiap temple, harga tiket 50 THB untuk foreigner.

Wat Phra Mahathat

Admission 50 THB. Rasanya ke Ayuthaya belum lengkap jika belum mengunjungi temple ini. Hal yang menarik dari temple ini adalah patung kepala Budha terbelit diantara akar-akar pohon. Selain itu ada beberapa stupa dan patung-patung Budha di sana. Menariknya di salah satu sisi terdapat beberapa patung Budha tanpa kepala. Beberapa bangunan di situ pernah saya lihat di Ancient Siam, tentu saja dalam keadaan yang lebih bagus (mengingat hanya replika saja, sementara di Ayuthaya terlihat hanya puing-puing saja).

Wihaan Phra Mongkhon Bophit

Admission fee: free.

Senin, 17 Januari 2011

Perjalanan dari Siem Reap ke Pnom Phen ditempuh dalam jangka waktu 7-8 jam dengan bus. Di Pnom Phen, kami agak kurang beruntung, karena beberapa penginapan sudah full. Akhirnya kami menginap di Home Town Hotel, dengan tarif kamar USD 21 untuk 3 orang (7 each). Hotelnya lumayan nyaman dan fasilitas lumayan lengkap (not include breakfast).


Keesokan paginya, dengan menggunakan tuk-tuk, kami mengelilingi Pnom Phen. Sebelumnya, kami makan di Khmer Saravan, yang letaknya tidak jauh dari river bank. Makanananya lumayan dan sedikit mahal sih. Saya meesan nasi goreng seafood. Cambodia memiliki sejarah kelam, ya siapa yang tak tahu Pol Pot, yang pernah memimpin Cambodia dan membunuh banyak orang? Sebagaimana yang disarankan pemilik Warung Bali, kami pergi ke S21 terlebih dahulu. S21 merupakan camp penahanan bagi Cambodian yang dianggap berbahaya oleh pemerintah pada saat itu. Biaya masuk USD 2. Gambar disebelah merupakan gambar sel yang pada zaman dahulu digunakan sebagai sel tahanan perempuan. Berbeda dengan sel tahanan laki-laki yang terbuka, sel tahanan perempuan diberi pintu (mengingat tahanan dalam keadaan tidak menggunakan pakaian).

Kamis, 13 Januari 2011

traveler's note: phuket

Akhirnya kesampaian juga ke Phuket. Dari Bangkok menuju Phuket bisa menggunakan Bus (pemberangkatan dari Southern Bus Station). Lebih lengkapnya, untuk scedule bisa dibaca di sini. Tapi jika tidak menggunakan bus pemerintah, harganya bisa lebih murah lagi. Namun, tentu saja fasilitasnya masih lebih bagus bus pemerintah (apalagi untuk soal makan). Bangkok-Phuket ditempuh selama 12 jam. Alternatif lainnya, tentu saja naik pesawat kurang lebih 1 jam. Dan naik kereta api ke Hualampong dan lanjut dengan naik bus. Kalo yang terakhir ini saya nggak tau dengan pastinya.

Saya menggunakan bus pukul 06.00 dan sampai Phuket bus station pukul 19.00. Harga tiket 676 THB dan bus berhenti 1 kali untuk lunch (free lunch), serta ada fasilitas bantal kecil, selimut, kue dan air minum. Karena sampai di terminal Phuket sudah malam, jadi saya menggunakan ojeg menuju ke patong (250 THB). Jika sampai pagi atau siang, bisa menggunakan bus.

Saya memang memutuskan untuk menginap di Patong. Saat itu sedang peak season (7-11 januari), jadi banyak hotel yang penuh dan tarifnya juga tinggi. Hari pertama menginap di hotel beu.... di Rat-u-thit. Harga kamar 600 THB (van, refrigerator, balcony). Sementara hari kedua, menginap di Odin's Guest House di 51 Rat-u-thit, harga kamar 500 (van), harga kamar ac 600 THB namun jika menginap lebih dari 1 hari, mungkin dapat lebih murah lagi. Hanya saja, kasurnya keras. Beberapa penginapan lain, yang disarankan di beberapa blog dan kaskus, full dan harganya juga cukup mahal. Paling murah my dream hotel (700 THB) yang lokasinya di belakang hotel ibis. Fasilitas sudah dengan aircon, namun kamarnya kecil. oya, jangan lupa pas cari hotel untuk nawar, bisa kok ditawar.

Dari hotel tersebut hanya butuh kurang lebih 5 menit jalan kaki menuju patong beach. Jika ingin ke Patong beach, lebih baik di pagi hari, jadi belum rame karena semakin siang semakin ramai. Dari sana mencari tiket ke phi phi island dan mendapatkan open tiket 500 THB, setelah melalui proses tawar menawar. Jika jumlah orangnya banyak, mungkin bisa dapat lebih murah lagi. Membeli di tour agency lebih murah daripada membeli langsung di pelabuhan, karena ada fasilitas penjemputan ke hotel dan ketika pulang dari phi-phi juga diantar ke patong lagi dengan van, tapi bisa juga minta berhenti di Phuket town. Ketika berada di Phuket town, harga tiket ke phiphi 550 THB (roundway). Jadi ya nggak merasa rugilah. Kemudian menyewa motor di hotel, kena 200 THB. Bensin di Thailand lumayan mahal juga. Jika beli eceran 40 THB/ liter. Dengan motor melalanglang buana ke Kata Beach, Karon Beach, Kamala Beach dan Surin Beach. Tapi nggak sempet ke promthep cape. Namun di 4 pantai tersebut sudah sangat ramai, benar-benar jadi lautan bule. Akhirnya ke Leam Sing Beach. Pantainya bagus dan banyak bule, namun tidak seramai di 4 pantai tersebut. Pantai di sini warnanya hijau dan ombaknya tidak besar. Hati-hati jika naik motor, karena jalannya cukup berbahaya, berdasarkan info di lonely planet, tiap tahun ada 600 kecelakaan.

Ada beberapa pusat perbelanjaan di Patong, salah satunya Jungcylon (ada carefournya juga). Banyak juga daerah walking street, dan di sepanjang rat-u-thit, banyak penjual kaki lima. Untuk makan yang murah bisa cari di belakang Jungcylon, ada night market dan bisa makanan dengan harga relatif murah. Alternatif lainnya adalah di 7eleven. Cukup banyak penjual yang bisa bahasa melayu, mungkin karena banyak komunitas muslim disana. Jangan lupa mencoba mangga+sticky rice dan juga som tam (papaya salad). Di Patong bisa melihat beberapa pertunjukan: simon cabaret (lady boy) atau fantasea. karena harga tiketnya mahal, saya tidak jadi nonton. Atau bisa juga nonton thai boxing. untuk pembelian tiket bisa ke tour agency. Jangan lupa nawar ya...


Hari ketiga, pagi-pagi setelah menunggu beberapa saat, akhirnya datang juga van yang menjemput ke phi-phi island. Karena ngantuk, jadi sepanjang perjalanan saya tidur dan tiba-tiba sudah sampai saja di pelabuhan. Kami naik kapal bersama 300 orang lainnya. Perjalanan dari Phuket ke Phi Phi sekitar 4 jam, dan ketika sampai di sana sudah banyak orang menawarkan hotel. Sempat juga ada yang bilang kalau di Phi Phi semua hotel menawarkan 2 malam. Nekat saja, mencari penginapan di sana, dan akhirnya dapat juga. Hotel di Phi Phi mahal-mahal dan sekali lagi karena peak season banyak hotel yang full. Saya menginap di Parichat House (dekat Loh Dalum Bay) dengan harga 700 THB (no bathroom/ share bathroom). Kamarnya mengingatkan saya pada sebuah kos-kosan di Salemba yang sempat saya lihat, karena dindingnya menggunakan anyaman bambu. Selanjutnya dari phiphi menyewa boat untuk putar-putar dan berhenti Maya Bay, waktu itu belum banyak turis, namun semakin siang disana semakin banyak turis. Sempat juga berendam di Maya Bay, dan alhasil jadi terbakar matahari (lesson learnt: jangan lupa bawa sunblock). Untuk t-shirt Phi phi, hanya dijual di phi phi. Jadi jika ingin membeli, belilah di Phi Phi.

Phi Phi di waktu malam, full dengan music, party, bar. Akhirnya saya memutuskan tidur cepat. Pagi-pagi hari bisa pergi ke view point untuk melihat sunrise. Sayang saya nggak sempat melihat tsunami village di sana. Untuk makanan di phi phi sedikit lebih mahal dibanding Patong. Ada banyak paket tour di Phi Phi, misalnya untuk diving atau snorkeling. Snorkeling+sunset view 350 THB. Ada tempat makan yang lumayan enak di Phi-phi, sayang saya lupa namanya. Tom yamnya enak, bisa request yang suka pedas. Sayang nggak punya fresh juice. Ada juga masjid di phi phi.


Untuk kembali ke phuket dengan kapal, harus datang lebih awal jika tidak, tidak kebagian tempat duduk. Kapal yang saya tumpangi lebih kecil dibanding dengan kapal awal, alhasil kapal tersebut penuh sesak dengan penumpang. Dari pelabuhan ke phuket town kurang lebih 45 menit. Saya berhenti di On On hotel (yang menjadi tempat syutingnya the beach). Hotel tersebut berada di kawasan kota tua, dan bangunannya pun juga tua. Jika ingin merasakan menginap di hotel tua, bisa mencoba menginap di On On hotel. Kamarnya cukup murah 250 THB/ malam untuk standard room, sayang tidak ada colokan listriknya. Untuk kamar tanpa bathroom, harganya lebih murah lagi. Saya hanya menginap 1 malam saja di On On hotel, selanjutnya ganti penginapan ke Ana Mansion yang letaknya di dekat Pearl Hotel, harga kamarnya 280 THB, dengan fasilitas TV, fan. Namun sebenarnya bisa dapat kamar lebih murah lagi 200 THB (tanpa TV).

Phuket town cukup kecil, dan bisa dikeliling dengan berjalan kaki saja. Bangunan di lokasi kota tua cukup menarik dengan arsitektur shino-portuguese. Anda bisa berkunjung ke museum post & telecomunication (free) dan juga ke museum phuket (200 THB). Selain itu juga bisa berkunjung ke masjid, yang lokasinya berdekatan dengan gereja dan chinese temple. Ada banyak temple, yang bisa anda kunjungi di Phuket town. Di pagi hari di ranong ada pasar buah-buahan, dan disepanjang jalan itu cukup banyak vegetarian restorant. Di weekend night, ada pasar malam di daerah tersebut, namun sayang saat saya kesana bukan di hari sabtu-minggu.

Sayang saya tidak sempat ke Big Budha. Jika waktu memungkinkan bisa sekalian ke Krabi atau ke James Bond Island.

Foto-foto bisa dilihat di sini

Selasa, 04 Januari 2011


"Very huge." itu komentar saya ketika melihat Angkor Wat. Bagaimana tidak, kompleks Angkor Wat plus hutan-hutan di sekelilingnya luasnya sekitar 400 km2. Beruntunglah, ada tuk-tuk yang menemani, jadi tidak terasa lelahnya mengitari kompleks Angkor Wat. Untuk lebih murahnya, bisa menyewa sepeda dari penginapan ke Angkor Wat (USD 2-3/ hari), kurang lebih 20 menit.

Biaya masuk Angkor Wat cukup mahal, untuk 1 hari USD 20, 3 hari USD 40 dan seminggu USD 60. Saya ambil tour 1 hari. Tiketnya cukup unik karena terpampang foto pengunjung di sana. Ya, sebelumnya harus berfoto dahulu untuk diprint di tiket, so siap-siap bergaya, hehehe.

Angkor Wat yang dibangun pada awal abad XII tersebut didedikasikan pada Raja Suryavarman II dan memiliki gaya Khmer. Ada lebih dari 100 temple di lokasi ini, karena hanya mengambil paket 1 hari, maka saya hanya berkunjung ke temple yang besar dan terkenal saja. Temple yang saya kunjungi adalah (tentu saja) angkor wat, the bayon, ta phrom, elephant terrace. Kalau menurut saya sih, 1 hari juga sudah cukup melihat-lihat Angkor Wat, namun tentu saja ini sangat subjektif.


Angkor Wat mungkin adalah temple terbesar se-Asia. Pada tahun 1992, UNESCO mendeklarasikan Angkor Archaeological Park sebagai world heritage site. Jangan lupa, sempatkan ke Ta Phrom, yang menjadi scene Angelina Jolie's Tomb Raider. Lokasi Ta Phrom tampak seperti hutan-hutan. Dan menariknya adalah akar-akar pohon yang berada di sekitar temple tersebut, yang seakan menunjukkan bagaimana alam menunjukkan eksistensinya.


Membicarakan Angkor Wat, tidak lepas dari anak-anak yang berada di sana. Banyak sekali anak-anak yang mengumpulkan dollar di kawasan ini. Entah menjajakan gelang, t-shirt atau souvenir lainnya. Tidak hanya itu saja, karena di sekitar Angkor Wat banyak rumah-rumah penduduk, tidak jarang anak-anak tersebut berada di lokasi Angkor Wat.